Namun, apa yang bisa kuberikan untuk Kak Aeires. Ada sih barang yang diidamkan Kak Aeires, namun itu terlalu mahal untuk anak kecil yang imut-imut seperti aku (sok keren nih!). Harganya mencapai 300 ribu! Wuah, uang tabunganku hanya cukup untuk membeli sebuah yoyo yang agak mahal dan sebuah headphone. Aku tak ingin memintanya pada mama, nanti tidak surprise lagi. Apa jalan keluarnya?
Yezzz... Sepertinya dewi fortuna sedang menghampiriku. Aku senang sekali memikirkan ide gila ini. Tak pernah terbayang ide ini. Mau tahu apa idenya?
Aku mengharapkan sebuah kepercayaan ambil bagian dalam perburuan nyamuk Kak Aeires. Sekarang harapan itu bakal terwujud. Tentunya dengan suatu rencana. Selama waktu yang tersisa ini, aku akan menggunakan dengan sebaik-baiknya. Aku akan mengumpulkan nyamuk-nyamuk yang sudah nasib (maksudnya mati) sebanyak-banyaknya. Setelah itu aku akan menunjukkan hasil usahaku kepada Kak Aeires. Semoga saja rencana ini berhasil.
Setiap pagi saat aku mandi sebelum pergi sekolah, aku menyempatkan diri menangkap nyamuk-nyamuk menyebalkan tersebut. Lalu nyamuk-nyamuk tersebut aku masukkan ke dalam sebuah bucket kecil berisi air pemberian papa dan bucket tersebut aku simpan di tempat rahasiaku agar Kak Aeires tidak menemukannya. Begitu pun seterusnya. Saat Kak Aeires pergi les, aku menyempatkan diri menangkap nyamuk sebanyak-banyaknya.
Setiap hari kira-kira ada 20 ekor nyamuk yang bisa aku tangkap. Kadang jika Kak Aeires ada acara di luar rumah, tangkapanku bisa melambung tinggi mencapai 50 ekor nyamuk! Aku selalu mencatat hasil tangkapanku dalam secarik kertas surat kepunyaan Kak Aeires. Aku membuatnya dengan rapi serapi-rapinya. Aku menulisnya dengan pulpen warna-warni yang juga milik Kak Aeires.
“Aere, apakah kau tahu di mana pulpen warna-warniku berada?” seru Kak Aeires dari dalam kamarnya. Aku mengintip dari balik pintunya yang sedikit terbuka. Dia sedang membongkar-bongkar isi laci mejanya. Sangat berantakan, begitu komentarku.
“Aku tidak tahu, kak. Kakak sih, jadi orang, kok, suka lupa.” Kataku berbohong, padahal pulpennya berada di balik bajuku.
“Mengapa tidak pakai spidol saja? Warnanya juga lebih banyak.” Saranku pada Kak Aeires. Kak Aeires menatapku sebentar dengan wajah penuh kebingungan. Aku membuat wajah sedemikian rupa sehingga seperti orang yang sedang menunggu jawaban dan wajah itu seperti bertanya, “bagaimana?”. Tak lama, Kak Aeires melangkah menuju kamarku, untuk mengambil spidol. Aku menjadi lega.
Ada lagi cerita saat bucketku hampir ketahuan Kak Aeires. Bucketku aku taruh di balik lemari perpustakaan kami. Saat itu ada bahan-bahan mading Kak Aeires yang secara tidak sengaja terjatuh dan tidak sengaja juga berada di balik lemari perpustakaan, tepat di sebelah bucketku. Kak Aeires hendak mengambil bahan madingnya. Ia sudah mengulurkan tangan di balik lemari perpustakaan. Aku yang tidak sengaja lewat di depan perpustakaan, segera memutar otak mencari jalan keluar.
Aku pun berteriak, “Kak, anjing kita lepas dari tali pengamannya!” Kak Aeires kontan saja kaget. Ia tidak langsung berlari ke halaman, ia justru lebih memilih melihat dulu ke jendela.
“Mana anjing lepas? Ah, sepertinya kamu perlu kaca mata! Atau kamu malah ingin kaca mata kuda? Hahaha...”
Saat Kak Aeires tertawa terbahak-bahak menghadap ke jendela, aku langsung dengan sigap mengambil bucketku dengan hati-hati, namun tetap saja berlari. Aku segera menuju kamarku. Sekarang aku menyembunyikan bucketku di bawah kasurku.
Oh,ya, besok aku ingin pergi ke mall membeli kado untuk Kak Arae. Aku pergi bersama teman-teman sekelasku. Ada sekitar 10 orang yang ikut. Antara lain aku, si pintar Havea, si jahil Vanno, si tampan Trofy, si kembar Romeo dan Ramon yang berasal dari keluarga bangsawan, si judes Draceo, si rapi Quedo, si pemberani Raffa, dan si mungil Craza.
Malam sebelum ke mall aku sudah mempersiapkan dengan baik apa yang akan aku bawa. Tas pinggang, handphone, dan yang terpenting dompet. Kulihat isi dompetku, ah... cukup untuk sebuah yoyo dan sebuah headphone. Headphone untuk Kak Arae, dan yoyo baru untukku. Tapi, kalau aku membeli yoyo untukku... uangnya tidak cukup untuk membeli bucket baru untuk nyamuk-nyamuk karena yang lama tidak cukup. Aku putuskan tidak membeli yoyo untukku.
Keesokan harinya...
“Kak Aeires, dimana handphoneku? Kan kemarin malam sudah ada di tas pinggangku. Sekarang dimana? Kakak jahat...” aku kesal dengan Kak Aeires. Jahilnya kambuh nih. Sudah ke 363 kali Kak Aeires menyembunyikan barang-barangku. Kak Aeires keluar dari tempat persembunyiannya. Di kamar mandi. Aku cemas kalau-kalau handphoneku diceburkan di bak mandi.
“Aaahhhhhh...... Kak Aeires jahat !!! Mama, Kak Aeires menceburkan handphoneku ke bak.” Teriakku.
Yezzz... Sepertinya dewi fortuna sedang menghampiriku. Aku senang sekali memikirkan ide gila ini. Tak pernah terbayang ide ini. Mau tahu apa idenya?
Aku mengharapkan sebuah kepercayaan ambil bagian dalam perburuan nyamuk Kak Aeires. Sekarang harapan itu bakal terwujud. Tentunya dengan suatu rencana. Selama waktu yang tersisa ini, aku akan menggunakan dengan sebaik-baiknya. Aku akan mengumpulkan nyamuk-nyamuk yang sudah nasib (maksudnya mati) sebanyak-banyaknya. Setelah itu aku akan menunjukkan hasil usahaku kepada Kak Aeires. Semoga saja rencana ini berhasil.
Setiap pagi saat aku mandi sebelum pergi sekolah, aku menyempatkan diri menangkap nyamuk-nyamuk menyebalkan tersebut. Lalu nyamuk-nyamuk tersebut aku masukkan ke dalam sebuah bucket kecil berisi air pemberian papa dan bucket tersebut aku simpan di tempat rahasiaku agar Kak Aeires tidak menemukannya. Begitu pun seterusnya. Saat Kak Aeires pergi les, aku menyempatkan diri menangkap nyamuk sebanyak-banyaknya.
Setiap hari kira-kira ada 20 ekor nyamuk yang bisa aku tangkap. Kadang jika Kak Aeires ada acara di luar rumah, tangkapanku bisa melambung tinggi mencapai 50 ekor nyamuk! Aku selalu mencatat hasil tangkapanku dalam secarik kertas surat kepunyaan Kak Aeires. Aku membuatnya dengan rapi serapi-rapinya. Aku menulisnya dengan pulpen warna-warni yang juga milik Kak Aeires.
“Aere, apakah kau tahu di mana pulpen warna-warniku berada?” seru Kak Aeires dari dalam kamarnya. Aku mengintip dari balik pintunya yang sedikit terbuka. Dia sedang membongkar-bongkar isi laci mejanya. Sangat berantakan, begitu komentarku.
“Aku tidak tahu, kak. Kakak sih, jadi orang, kok, suka lupa.” Kataku berbohong, padahal pulpennya berada di balik bajuku.
“Mengapa tidak pakai spidol saja? Warnanya juga lebih banyak.” Saranku pada Kak Aeires. Kak Aeires menatapku sebentar dengan wajah penuh kebingungan. Aku membuat wajah sedemikian rupa sehingga seperti orang yang sedang menunggu jawaban dan wajah itu seperti bertanya, “bagaimana?”. Tak lama, Kak Aeires melangkah menuju kamarku, untuk mengambil spidol. Aku menjadi lega.
Ada lagi cerita saat bucketku hampir ketahuan Kak Aeires. Bucketku aku taruh di balik lemari perpustakaan kami. Saat itu ada bahan-bahan mading Kak Aeires yang secara tidak sengaja terjatuh dan tidak sengaja juga berada di balik lemari perpustakaan, tepat di sebelah bucketku. Kak Aeires hendak mengambil bahan madingnya. Ia sudah mengulurkan tangan di balik lemari perpustakaan. Aku yang tidak sengaja lewat di depan perpustakaan, segera memutar otak mencari jalan keluar.
Aku pun berteriak, “Kak, anjing kita lepas dari tali pengamannya!” Kak Aeires kontan saja kaget. Ia tidak langsung berlari ke halaman, ia justru lebih memilih melihat dulu ke jendela.
“Mana anjing lepas? Ah, sepertinya kamu perlu kaca mata! Atau kamu malah ingin kaca mata kuda? Hahaha...”
Saat Kak Aeires tertawa terbahak-bahak menghadap ke jendela, aku langsung dengan sigap mengambil bucketku dengan hati-hati, namun tetap saja berlari. Aku segera menuju kamarku. Sekarang aku menyembunyikan bucketku di bawah kasurku.
Oh,ya, besok aku ingin pergi ke mall membeli kado untuk Kak Arae. Aku pergi bersama teman-teman sekelasku. Ada sekitar 10 orang yang ikut. Antara lain aku, si pintar Havea, si jahil Vanno, si tampan Trofy, si kembar Romeo dan Ramon yang berasal dari keluarga bangsawan, si judes Draceo, si rapi Quedo, si pemberani Raffa, dan si mungil Craza.
Malam sebelum ke mall aku sudah mempersiapkan dengan baik apa yang akan aku bawa. Tas pinggang, handphone, dan yang terpenting dompet. Kulihat isi dompetku, ah... cukup untuk sebuah yoyo dan sebuah headphone. Headphone untuk Kak Arae, dan yoyo baru untukku. Tapi, kalau aku membeli yoyo untukku... uangnya tidak cukup untuk membeli bucket baru untuk nyamuk-nyamuk karena yang lama tidak cukup. Aku putuskan tidak membeli yoyo untukku.
Keesokan harinya...
“Kak Aeires, dimana handphoneku? Kan kemarin malam sudah ada di tas pinggangku. Sekarang dimana? Kakak jahat...” aku kesal dengan Kak Aeires. Jahilnya kambuh nih. Sudah ke 363 kali Kak Aeires menyembunyikan barang-barangku. Kak Aeires keluar dari tempat persembunyiannya. Di kamar mandi. Aku cemas kalau-kalau handphoneku diceburkan di bak mandi.
“Aaahhhhhh...... Kak Aeires jahat !!! Mama, Kak Aeires menceburkan handphoneku ke bak.” Teriakku.
0 komentar:
Posting Komentar